Dunia menggambarkan berkat dengan berbagai hal misalnya umur panjang, kesehatan, kekayaan, karir, keluarga, kedudukan, ketenangan hati, kebahagiaan dan lain-lain. Namun di dalam kekristenan berkat berbicara sesuatu yang lebih dari segala hal. Orang kristen harus bisa melihat berkat lebih kepada hal yang bersifat kekal bukan kesementaraan atau bukan secara materi.
Di dalam Matius 5:1-3 Yesus menunjukkan siapa saja orang-orang yang diberkati yaitu murid-murid yang sejati. Bukan orang-orang yang sekedar mengikut Yesus secara berbondong-bondong karena banyak diantara mereka berbagai macam motivasi dalam mengikut Yesus. Hanya murid yang sejati yang memiliki berkat di dalam kesejatiannya karena itu ucapan bahagia di dalam Mat. 5 diikuti dengan berkat-berkat.
Yesus memberikan ciri pertama dari murid yang sejati adalah orang yang miskin dihadapan Allah karena merekalah yang empunya kerajaan surga. Di Mat. 7 menyebutkan bahwa ada banyak orang berseru kepada Yesus Tuhan, tetapi bukan mereka yang masuk ke dalam surga namun yang melakukan kehendak Bapa. Jadi masuk surga bukan soal berseru-seru Tuhan-Tuhan atau mengikut serta melakukan aktivitas pelayanan seakan-akan bagi Tuhan. Kata Yesus yang masuk surga adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa.
Suatu kali ada seorang bintang yang terkenal diwawancara tentang perjuangan hidupnya sebelum akhirnya ia menjadi bintang yang sukses. Ditengah wawancara bintang terkenal ini ditanya, apakah ada momentum bahagia yang pernah dirasakannya ketika ia masih hidup begitu miskin. Bintang ini menjawab bahwa ia pernah kaya dan pernah miskin. Percayalah kaya itu lebih baik.
Banyak orang akan punya pendapat yang sama seperti jawaban bintang terkenal tadi. Namun menarik sekali, khotbah dibukit berkata berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah. Karakter yang miskin dihadapan Allah adalah kunci untuk memahami karakter-karakter selanjutnya dalam khotbah di bukit. Ini adalah karakter esensial yang tidak boleh tidak ada di dalam diri murid yang sejati.
Berbahagialah orang miskin artinya bukanlah orang yang tidak memiliki uang, tidak memiliki kekayaan. Miskin yang dimaksud bukan secara penampakan atau penampilan tetapi yang di dalam berbicara soal kedalaman hati, jiwa manusia dan memiliki kesadaran akan kemiskinan diri. Di dalam Perjanjian Lama seringkali memakai gambaran miskin untuk menunjukkan kondisi rohani. Di dalam kitab para nabi misalnya umat Tuhan digambarkan miskin. Miskin yang dimaksud adalah kondisi yang secara rohani memprihatinkan.
Injil Matius memakai kata miskin sebanyak 5 kali yaitu 5:3; 11:5; 19:21; 26:9; 26:11. Di dalam Mat. 5:3 ada kata sifat yang menunjukkan miskin yang dimaksud yaitu inspirit atau dihadapan Allah. Jadi, bukan sekedar berbicara miskin secara ekonomi, tetapi secara jiwa menyadari kondisinya. Konteks ucapan bahagia lebih cenderung menekankan makna rohani.
Sumber:
- The Blessed People Part 2 oleh Pdt. Irwan Pranoto
- Youtube BARA Digital Ministry: https://www.youtube.com/watch?v=VsZoKgCo3-4
- Web BARA Digital Ministry: https://www.baradigitalministry.com
Penyusun: Shinta Lestari Zendrato, S.Th