Apa yang disebut sukses dalam hidup? Dunia punya jawaban cepat: harta yang melimpah, prestasi yang mengesankan, atau nama yang dikenal banyak orang. Namun, ada perspektif lain yang lebih dalam, yang mengajak kita menilik ulang makna sukses—bukan dari apa yang terlihat di luar, tetapi dari apa yang hidup di dalam, bersama Tuhan.
Pertimbangkan kisah tentang seseorang yang memiliki kekayaan besar. Ia bukan tipe yang memamerkan mobil mewah atau tinggal di hunian megah. Sebaliknya, ia berjalan di pasar seperti orang biasa, membawa keranjang sederhana, tanpa jejak kesombongan. Yang membuatnya berbeda adalah keputusannya: sebagian besar hartanya sudah disiapkan untuk gereja setelah ia tiada. Kebahagiaannya tidak bergantung pada apa yang ia pegang di tangan, melainkan pada apa yang ia serahkan untuk tujuan yang lebih besar. Ini menggemakan nasihat dalam 1 Timotius 6:7, “Sebab kita tidak membawa sesuatu apa pun ke dalam dunia ini, dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Sukses, dalam lensa ini, bukan tentang menumpuk harta, tetapi tentang memaknai hidup dengan memberi—memberi yang selaras dengan kehendak Tuhan. Kekayaan bukan musuh, tetapi juga bukan ukuran utama; yang terpenting adalah bagaimana harta itu menjadi alat untuk sesuatu yang abadi.
Lalu, ada gambaran lain yang tak kalah kuat. Bayangkan sebuah ruangan rumah sakit, di mana dua orang duduk berdekatan—mungkin sepasang suami-istri—di tengah keheningan. Infus tergantung, aktivitas terhenti, dan tak ada ruang untuk mengejar apa pun. Hanya ada pertanyaan kecil, “Kamu baik-baik saja?” Tak ada kata-kata panjang, tak ada pekerjaan yang bisa diselesaikan, tetapi justru di situ ada damai yang tak bisa dijelaskan. Kehadiran Tuhan mengisi kekosongan itu, mengikat mereka dalam hubungan yang sederhana namun mendalam. Momen ini mengajarkan sesuatu yang sering luput: sukses bukan selalu tentang apa yang dicapai atau dilakukan. Kadang, sukses ditemukan dalam ketenangan, dalam hubungan yang terjalin dengan Tuhan dan orang-orang terdekat. Dunia mungkin menuntut produktivitas tanpa henti, tetapi Tuhan justru bisa memanggil kita untuk berhenti, mendengarkan, dan menemukan makna dalam apa yang tampak biasa.
Semua ini mengarah pada satu fondasi yang lebih kokoh: sukses sejati berakar pada hubungan dengan Tuhan. Dalam Efesus 1:13, Alkitab menyatakan bahwa manusia “dimeteraikan dengan Roh Kudus yang dijanjikan itu.” Kata “dimeteraikan” membawa makna luar biasa: dipilih, disahkan, dan dijaminkan sebagai milik Tuhan. Ini adalah cap kepastian bahwa, meski hidup membawa sakit, kegagalan, atau kehilangan, ada rasa aman yang tak tergoyahkan dalam lindungan-Nya. Bayangkan sebuah surat berharga yang disegel—tak ada yang bisa mengubah nilainya. Begitulah manusia di mata Tuhan: berharga, tak peduli apa yang dunia katakan. Sukses, dalam pengertian ini, bukan tentang mengumpulkan pengakuan atau keberhasilan lahiriah, melainkan tentang kesadaran bahwa hidup ini milik Tuhan, dan Dia yang menentukan nilainya.
Namun, pertanyaan tetap muncul: bagaimana kita menjalani sukses ini dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya mungkin terletak pada cara kita memaknai setiap peristiwa. Orang kaya itu menemukan sukacita dalam kesederhanaan dan pemberian. Pasangan di rumah sakit menemukan damai dalam keheningan bersama Tuhan. Keduanya menunjukkan bahwa sukses bukanlah garis akhir yang harus dikejar dengan susah payah, melainkan perjalanan untuk melihat jejak Tuhan dalam setiap langkah. Ketika hidup terasa berat—mungkin karena sakit, konflik, atau harapan yang tak tercapai—sukses bisa berarti berhenti sejenak, bertanya, “Apa yang Tuhan ingin ajarkan di sini?” Bukan soal mengatasi semua masalah, tetapi soal menemukan damai di tengahnya.
Sukses bersama Tuhan juga menantang kita untuk menyelaraskan impian dengan kehendak-Nya. Dalam rumah tangga, misalnya, perbedaan definisi sukses antara suami dan istri bisa memicu konflik. Satu mungkin mengukur sukses dari stabilitas materi, sementara yang lain dari dampak rohani. Kunci kebersamaannya adalah duduk bersama, berbicara, dan mencari titik temu dalam apa yang Tuhan inginkan. Ini bukan tentang menyeragamkan impian, tetapi tentang membiarkan Tuhan membentuknya menjadi sesuatu yang lebih besar dari keinginan pribadi.
Pada akhirnya, ukuran sukses bersama Tuhan melampaui apa yang mata lihat atau tangan raih. Ia ada dalam hati yang tenang karena tahu dirinya milik Tuhan, dalam hubungan yang diperkaya oleh kasih-Nya, dan dalam hidup yang dipersembahkan untuk tujuan yang kekal. Harta boleh ada, prestasi boleh diraih, tetapi itu semua hanyalah bonus—bukan inti. Intinya adalah perjalanan bersama Tuhan, di mana setiap detik, setiap jeda, dan setiap tantangan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Itulah sukses yang tak bisa dicuri waktu atau dunia.