![]() |
Image: pexels.com |
Di sepanjang tahun 2020, ada sebuah kata kunci menarik yang paling banyak dicari dalam kategori “Apa Itu?” di Google. Kata itu adalah “ghosting.”
“Ghosting” adalah istilah populer yang mengacu pada tindakan menghentikan komunikasi secara mendadak tanpa pemberitahuan – tetap ada alasan meski tak terungkap. Bahasa sederhananya, hilang begitu saja tanpa kabar. Sekalinya ada kabar, eh sudah dengan yang lain. Istilah ini bisa muncul di konteks persahabatan, pekerjaan dan seringnya pada percintaan.
Ya memang kata ghosting semakin ramai digunakan karena aktivitas media sosial dan juga kencan online. Terlebih ketika beberapa bulan lalu salah seorang influencer memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas dan meninggalkan pacarnya dan tahu-tahu telah berpacaran dengan teman pacarnya itu.
Sebenarnya, kata ghosting sudah digunakan sejak tahun 1990-an. Bahkan resmi masuk dalam kamus Merriam Webster pada tahun 2017. Pelaku _ghosting_ disebut sebagai ghoster, sedangkan orang yang terkena _ghosting_ disebut sebagai ghostee.
Menurut survei yang diungkap Kristina Rodulfo pada 29 maret 2016 bahwa 80% millenial di Amerika Serikat pernah menjadi korban ghosting. Korban yang paling banyak terluka akibat ghosting adalah wanita.
Ghosting berbeda dengan toxic relationship (TR). Dalam TR sangat dianjurkan seseorang meninggalkan pasangan atau situasi yang sangat-sangat tidak sehat – bahkan setelah diusahakan sedemikia rupa.
Bisa dibayangkan betapa sakitnya ketika seseorang menghilang tanpa jejak ketika tumbuh benih cinta? Bagaimana dengan Allah dan umat-Nya, apakah kita merasa pernah _ghostinging_ Dia?
Dalam perikop ini, Yesaya menyanyikan nyanyian pilu yang menggambarkan Allah sebagai pemilik kebun anggur yang dikhianati oleh kebun itu sendiri.
Ini adalah gambaran bagaimana perasaan Allah ketika umat Israel yang telah ‘diusahakan’ Allah sedemikian rupa, dengan seluruh hati dan pikiran-Nya tega membelakangi Allah. Perhatikan gambaran pilu yang ditulis Yesaya pada ayat 2 dan 4;
Ayat 2, “Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga di tengah-tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik, tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam.
Ayat 4 ”Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?”
Nyanyian kebun anggur ini menunjukkan bahwa Allah berusaha sedapat-dapatnya untuk menjadikan kaum Israel dan Yehuda bangsa yang benar dan produktif. Mereka sudah dilindungi dan diberkati Tuhan tetapi umat-Nya hidup tidak berbuahkan kebaikan dan kebenaran. Mereka berbuat sebaliknya dan meninggalkan Allah begitu saja. Praktek kehidupan buah yang masam bisa dilihat di perikop selanjutnya – saya mendaftarnya dengan singkat:
- Keserakahan yang mementingkan diri (ayat Yes 5:8),
- perilaku bermabuk-mabukan (ayat Yes 5:11-12),
- cemoohan terhadap kuasa Allah untuk menghukum dosa mereka (ayat Yes 5:18-19),
- pemutarbalikan standar-standar moral Allah (ayat Yes 5:20),
- keangkuhan dan kesombongan (ayat Yes 5:21), dan
- pemerkosaan keadilan (ayat Yes 5:22-23)
Daftar ini sebagian kecil dari yang dapat kita lihat sampai ayat 30.
Benar, istilah ghosting kurang pas disematkan kepada umat Israel kala itu. Karena mereka tidak hanya meninggalkan Allah tanpa kabar – mereka mengkhianati kasih-Nya dengan kelaliman (baca: penumpahan darah). Dinanti-Nya dengan kebenaran tetapi hanya ada keonaran (baca: jeritan orang teraniaya).
Apakah itu hanya terjadi pada orang Israel? hati-hati, kita bisa saja berperilaku demikian, menjadi ghoster bagi Allah. Bahkan lebih buruk dari itu. Jika para ghoster mengakhiri hubungan dengan menghindar, percaya atau tidak, kita tidak ingin selamanya menghindari Allah, kita mau datang ketika membutuhkan-Nya, kita memanfaatkan Dia.
Kita sering mendengar – atau pernah mengalami – seseorang meninggalkan Allah karena kesulitan hidup, mempertanyakan kebaikan-Nya. Namun jangan salah, ada juga seseorang meninggalkan Allah tanpa kabar karena berada dalam keadaan terbaik.
Di manakah posisi kita saat ini?
Di tengah keadaan kecewa dengan seseorang? Jangan pergi tanpa kabar. Bicara dan selesaikan dalam kasih serta damai. Atau dalam keadaan terpuruk lainnya? Mendekatlah kepada-Nya yang berjanji “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau (Ibrani 13:5b).
Di tengah keadaan terbaik? Ingatlah seperti umat Israel, semua keberhasilan mereka semata-mata karena segala usaha yang dilakukan Allah. Apa yang Ia tuntut dari kita? Bukankah ucapan syukur yang diiringi pengakuan bahwa segalanya berasal dari pada-Nya?
Oleh: Febbi Timotius