1. Salib Mengubah Cara Kita Memandang Diri Sendiri
Yesus disalibkan pada pukul 9 pagi, dan mulai tengah hari, kegelapan meliputi seluruh wilayah hingga pukul 3 sore. Kegelapan ini bukan sekadar fenomena alam; ini adalah simbol murka Allah yang sedang dicurahkan. Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabaktani?”—ungkapan penderitaan mendalam karena ditinggalkan, bukan karena hilangnya keilahian, tetapi karena Ia menanggung murka Allah yang seharusnya tertuju pada kita.
Salib menunjukkan siapa kita sebenarnya: orang-orang berdosa yang layak dihukum. Namun, salib juga mengungkapkan siapa kita di mata Allah: orang-orang yang dikasihi sedalam-dalamnya, sampai Putra Tunggal-Nya rela menggantikan kita. Seperti seorang tahanan perang yang mengorbankan dirinya demi teman-temannya dalam kisah nyata di masa Perang Dunia II, demikian pula Yesus menggantikan tempat kita.
Ketika kita menatap salib, kita melihat dua kenyataan sekaligus: kehancuran kita tanpa Kristus, dan pengharapan kita di dalam Kristus. Ini mengubah cara kita menilai diri. Kita bukan orang gagal yang dibiarkan sendiri, tetapi orang berdosa yang ditebus untuk hidup baru.
2. Salib Mengubah Cara Kita Memandang Allah
Markus 15:38 mencatat bahwa ketika Yesus mati, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas ke bawah. Tabir itu dulunya memisahkan Allah yang Maha Kudus dari umat manusia yang berdosa. Hanya Imam Besar, dan hanya setahun sekali, boleh masuk ke ruang Maha Kudus. Tapi melalui kematian Kristus, tirai itu robek—akses kepada Allah kini terbuka.
Dosa yang dulu membuat kita tidak layak, kini tidak lagi menjadi tembok permanen. Kita memiliki jalan masuk, bukan karena usaha kita, tetapi karena karya penebusan Kristus. Dalam keadaan seburuk apapun, dalam sejarah sekelam apapun, kita tetap bisa mendekat kepada Allah.
Kisah nyata tentang seorang perampok yang bertobat setelah mendengar pesan dari Jonathan Edwards mengilustrasikan hal ini dengan gamblang: bahkan dalam kejatuhan terdalam, salib membuka pintu pengampunan dan persekutuan kembali dengan Sang Pencipta.
3. Salib Mengubah Cara Kita Memandang Dunia
Kematian Kristus di salib bukanlah akhir. Ini adalah awal dari dunia yang baru. Ketika kepala pasukan Romawi yang menyaksikan peristiwa salib bersaksi, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah,” dunia tidak lagi sama. Salib memaksa setiap orang bertanya ulang: siapa Yesus sebenarnya? Dan jika benar Dia Anak Allah, bagaimana mungkin dunia ini tetap berjalan seperti sebelumnya?
Salib memanggil kita untuk hidup dalam terang kasih dan pengampunan. Dunia bukan lagi sekadar tempat untuk mengejar ambisi pribadi, tetapi ladang misi untuk kasih Kristus. Salib mengubah penderitaan menjadi sarana pengudusan, dan pengorbanan menjadi jalan kehidupan.
Salib Kristus menantang kita untuk berhenti melihat diri dari kaca mata kegagalan, malu, atau prestasi. Ia mengundang kita melihat diri sebagai orang yang dikasihi dan ditebus. Ia juga membuka akses kepada Allah dan mengubah dunia yang kita pandang penuh kebencian dan ketakutan, menjadi dunia tempat kasih Kristus dinyatakan.
Di Jumat Agung ini, mari kita renungkan kembali salib—bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai kenyataan yang mengubah cara kita hidup, percaya, dan berharap.
Selamat memperingati Jumat Agung dan menyambut Paskah. Kristus telah disalibkan, dan Ia telah bangkit. Dunia tidak lagi sama.